Jumat, 15 Januari 2016

Karakteristik Pemilih NTT


A.    LATAR BELAKANG
Demokrasi merupakan bentuk atau sistem pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakil-wakilnya atau pemerintahan rakyat. Demokrasi juga dapat diartikan sebagai gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga Negara.
Demokrasi diperayai sebagai gagasan universal yang dapat diterima oleh ragam perspektif. Demokrasi telah menjadi obsesi sejumlah masyarakat non-Barat semenjak awal abad ke-20. Banyak wilayah jajahan barat di Asia dan Afrika mulai bergerak untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi di dalam masyarakat. Dengan “senjata” demokrasi yang diperoleh melalui pendidikan Barat. Para pemuka wilayah jajahan ingin mengembangkan nilai-nilai demokrasi yang akan digunakan untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Di (zaman) Hindia Belanda, gejala seperti ini dinamakan Kebangkitan Nasional.[1]
Inti dari demokrasi adalah “pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat”. Sistem pemerintahan yang demokratis seperti itulah yang tidak akan terhapus dari muka bumi. Dengan perkataan lain itulah sistem yang terbaik bagi masyarakat dimanapun mereka berada. Salah  satu  tonggak utama untuk mendukung sistem politik yang demokratis adalah melalui  pemilu
Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat baik di tingkat pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana  yang diamanatkan oleh pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu dilaksanakan oleh negara Indonesia dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat sekaligus penerapan prinsip-prinsip atau nilai-nilai demokrasi, meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam pemilihan umum demi terwujudnya cita-cita masyarakat Indonesia yang demokratis.
Dalam mewujudkan cita-cita demokrasi sebuah bangsa, pemilihan umum secara langsung merupakan instrumen yang sangat memadai dalam melalukan pemilihan umum. Karena rakyat diikutsertakan dalam memilih wakil rakyat atau pemimpinnya, sehingga rakyat mempunyai kesempatan untuk menentukan siapa yang akan duduk nantinya. Pemilihan umum langsung yang melibatkan rakyat inilah yang nantinya diharapakan dapat menghasilkan seorang pemimpin atau wakil rakyat di parlemen yang dapat mewujudkan aspirasi rakyat.
Memasuki era saat ini, dalam setiap kegiatan pemilihan umum banyak diwarnai oleh kecurangan-kecurangan yang dimainkan para elit untuk memperoleh jabatan. Ideologi partai yang dijunjung tinggi, sepertinya tinggal menjadi tulisan-tulisan pemanis bibir para kandidat. Hal ini tentu sangat disayangkan, karena pemimpin sebagai harapan masyarakat akan adanya sebuah kesejahteraan menjadi sirna.
Melihat dari setiap pemilihan umum yang telah berlangsung di Indonesia, impian untuk hidup sejahtera dari masyarakat masih kabur, tanpa kejelasan. Masyarakat seolah dipermainkan dengan janji-janji manis para kandidat yang berkompetisi untuk sebuah jabatan yang katanya menjadi wakil rakyat. Ini tentu menjadi pelajaran kita bersama, bagaimana pilihan yang tepat dari masyarakat agar menghasilkan pemimpin rakyat yang mau bekerja untuk melayani rakyat setulus hati. 
Sosialisasi politik adalah bagian dari upaya yang dilakukan banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk menyadarkan pemilih agar dalam menjatuhkan pilihan dapat mempertimbangkan aspek untung dan rugi sebagai refleksi jiwa, demi tercapainya kesejahteraan. Dalam upaya kembali menata karakter pemilih, tentunya diperlukan pendidikan politik yang dapat menunjang partisipasi masyarakat. Partai politik mempunyai peran yang besar dalam hal ini, karena dapat menyangkut citra partai pada saat pemilihan umum nanti.
Ideologi partai merupakan sebuah tolak ukur yang akan dipakai masyarakat dalam menjatuhkan pilihan. Sehingga seorang kandidat harus menguasai ideologi partai yang menjadi cita-cita partai sekaligus menggambarkan peran partai dalam kehidupan masyarakat. Dimasa sekarang yang sering terjadi adalah seorang kandidat berusaha mempromosikan dirinya sebagai seorang kandidat yang mampu untuk menjadi wakil atau pemimpin rakyat, namun peran partai lewat ideologi partai tidak dipromosikan sebagai salah satu kekuatan partai yang mencalonkannya.
Masyarakat akan melihat ideologi partai sebagai sebuah tujuan partai, atau rumah kandidat. Oleh karenanya, ideologi partai adalah bagian pertimbangan rasional yang dapat mendukung kandidat dalam kompetisi pemilu.   
B.     RUMUSAN MASALAH
Bagaimanakah karakter pemilih di Provinsi Nusa Tenggara Timur? 

BAB II
PERSPEKTIF TEORI
Dalam upaya memahami dan mengkaji karakter pemilih, penulis mengangkat teori perilaku politik sebagai acuan dalam membedah karakter pemilih yang cenderung berubah-ubah dalam setiap pemilihan umum di Indonesia. Teori perilaku politik, dianggap relevan oleh penulis karena mempunya hubungan erat dengan karakter pemilih dalam menjatukan pilihannnya.
Perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Yang melakukan kegiatan adalah pemerintah dan masyarakat. Kegiatan yang dilakukan pada dasrnya dibagi dua, yaitu fungsi-fungsi pemerintahan yang dipegang oleh pemerintah dan fungsi-fungsi politik yang dipegang oleh masyarakat.[2]
Dalam menjalankan fungsi politik yang dipegang masyarakat, pendekatan perilaku menjawab bahwa individulah yang melakukan kegiatan politik secara aktual. Dimana masyarakat secara langsung dapat mengikuti setiap kegiatan politik, dalam hal ini adalah pemilihan umum.
Perilaku adalah menyangkut sikap manusia yang akan bertindak sesuatu. Oleh karena itu sangat masuk akal tampaknya apabila sikap ditafsirkan dari bentuk perilaku. Dengan kata lain, untuk mengetahui sikap seseorang terhadap sesuatu, kita dapat memperhatikan perilakunya, sebab perilaku merupakan salah satu indikator sikap individu.
Menurut Jack Plano voting behavior atau perilaku memilih adalah: “Salah satu bentuk perilaku politik yang terbuka.” Sedangkan menurut Haryanto, Voting adalah: “Kegiatan warga negara yang mempunyai hak untuk memilih dan di daftar sebagai seorang pemilih, memberikan suaranya untuk memilih atau menentukan wakil-wakilnya”. Pemberian suara kepada salah satu kontestan merupakan suatu kepercayaan untuk membawa aspirasi pribadi, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Kepercayaan yang diberikan, juga karena adanya kesesuaian nilai yang dimiliki arah tempat memberikan suara. Nilai yang di maksud di sini adalah preferensi yang dimiliki organisasi terhadap tujuan tertentu atau cara tertentu melaksanakan sesuatu. Jadi kepercayaan pemberi suara akan ada, jika seseorang telah memahami makna nilai yang dimiliki dalam rangka mencapai tujuan.
Perilaku memilih atau voting behavior dalam pemilu adalah respons psikologis dan emosional yang diwujudkan dalam bentuk tindakan politik mendukung suatu partai politik atau kandidat dengan cara mencoblos surat suara.
Keberadaan pemilu tidak bisa diabaikan begitu saja. Ia menjadi prasyarat utama untuk menandai apakah demokrasi terjadi atau tidak dalam tegaknya Negara berdasarkan kedaulatan rakyat. Pemilu dalam konteks ini menjadi satu-satunya ruang untuk menunjukkan keberkuasaan rakyat atas elitenya. Melalui proses pemilu itu, rakyat menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada elitenya.
Hal inilah yang membedakan antara demokrasi dan non-demokrasi, baik dalam proses pemilihan maupun bentuk pertanggungjawaban kepada publik. Melalui prosedur ini, rakyat bisa menuntut pertanggungjawaban atas kinerja sebuah pemerintahan yang berujung pada apakah ia masih layak dipilih lagi atau tidak. Karena itu, kalau kita mengambil sikap abstain (golput) dalam sebuah proses pemilihan, meskipun ini juga bagian dari hak warga negara, berarti kita telah mempersilahkan diri kita "disandera" selama lima tahun oleh pemimpin yang sebenarnya tidak kita kehendaki. Namun demikian, juga bisa memahami jalan berpikir beberapa kalangan yang memilih untuk "tidak memilih" karena sering kali dihadapkan dan merasakan tipu daya dari para elite dalam setiap penyelenggaraan pemilu.
Secara garis besar perilaku pemilih (political behaviour), setidaknya dapat dikelompokkan dalam lima kategori, yaitu: Pertama, penentuan pilihan karena kasamaan ideologi dengan kandidat. Namun, dalam kehidupan berbangsa sekarang dengan banyaknya politik aliran yang semakin menjamur, ideologi agaknya tidak lagi menjadi faktor determinan, di samping untuk mencari garis persamaan ideologis sekarang ini juga bukan hal mudah karena arus pragmatisme politik yang demikian kuat.

Kedua, pilihan didasarkan pada afiliasi partai politik. Kandidat yang didukung partai politik pilihannya, kepada dialah pilihan dijatuhkan. Pemilih yang berperilaku seperti ini agaknya lebih banyak, sehingga para kandidat berupaya sekuat tenaga untuk memperoleh dukungan partai politik sebanyak mungkin.
Ketiga, pilihan karena kesamaan etnisitas (gaps golongan). Banyak yang mengasumsikan, etnisitas akan turut menentukan pilihan politik seseorang, meski etnisitas ikut menentukan, tapi dalam Pemilu tidak terlalu signifikan menentukan perolehan suara.
Keempat, pilihan didasarkan pada pragmatisme politik. Pragmatisme ini bisa muncul karena banyak hal, seperti money politic, kedekatan dengan kandidat, hubungan keluarga, abdi dalam pekerjaan dan sebagainya. Money politic dalam berbagai bentuk manifestasinya, mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam membentuk pragmatisme politik. Money politic sebagai bentuk pragmatisme politik tidak selalu dalam arti pemberian sejumlah uang kepada pemilih, tapi bisa dalam bentuk-bentuk yang agak soft agar tidak dikesankan "membeli" suara. Tidak disangsikan lagi bahwa pemilih dalam Pemilu banyak yang menempuh cara ini untuk menentukan pilihan.
Kelima, pilihan karena program dan integritas kandidat. Pemilih cerdas yang rasional biasanya melihat sisi ini. Kita tahu bahwa tidak banyak pemilih yang menggunakan hal ini sebagai pertimbangan utama untuk menentukan pilihan. Memang dimungkinkan, pilihan ditentukan juga karena kombinasi dan perpaduan dari beberapa unsur di atas, namun pemilih yang cerdas seharusnya didasarkan pada rekam jejak kandidat, integritas, keahlian, dan program yang ditawarkan.[3]
Pesimisme masa depan dan janji kampanye yang sekadar isapan jempol akhirnya mendorong pemilih menjadi pragmatis. Belum lagi adanya anggapan, siapa pun yang berkuasa tidak akan mampu melakukan perubahan signifikan. Meski demikian, ruang kecerdasan dan akal sehat tetap harus dipelihara dalam Pemilu.

BAB III
ANALISIS
Mengamati perkembangan karakteristik pemilih yang ada saat ini, membuat penulis ingin menganalisis bagaimana karakteristik pemilih yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Latar belakang budaya, etnis, agama, dan kehidupan sosial yang berbeda-beda merupakan faktor-faktor yang dapat membantu penulis untuk dapat menganalisis karakteristik pemilih yang ada di NTT.
Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah sebuah provinsi kepulauan yang berada di bagian timur Republik Indonesia. Keragaman budaya yang ada di NTT merupakan sebuah ciri khas identitas masyarakat NTT.  Melihat dari bidang pendidikan dan ekonomi NTT masih sangat tertinggal. Saya tidak mempersalahkan masyarakat NTT, tapi pemerataan pembangunan dalam seluruh aspek kehidupan masih jauh dari kata sempurna. Oleh karenanya banyak warga NTT yang masih kurang mendapatkan kebutuhan pendidikan dan ekonomi yang semestinya.
Dalam setiap kegiatan pemilihan umum, masyarakat NTT sangat aktif dalam memberikan suaranya. Terbukti lewat menurunnya angka golput di NTT, namun yang menjadi permasalahnnya adalah dalam memberikan suara, rakyat NTT sebagian besarnya bukanlah pemilih yang rasional. Primordialisme masih sangat nampak dalam kegiatan pemberian suara yang dilakukan oleh masyarakat NTT dan kecenderungan untuk memilih kandidat tidak melihat visi-misi dari kandidat atau ideologi partai pendukung.
Cara pandang dan pemikiran yang masih tradisional dari masyarakat NTT, seringkali dipraktekan dalam menjatuhkan pilihan. Masyarakat beranggapan bahwa orang yang pantas menjadi wakil mereka adalah orang yang dirasakan secara sosial dekat dengan masyarakat. Visi atau misi kandidat bukan merupakan sebuah faktor penentu. Namun ikatan emosional kandidat dengan masyarakat lebih penting, karena pemikiran masyarakat yang masih tradisional mereka berpikir bahwa orang yang dekat dengan masyarakat adalah orang yang paling mengerti tentang kebutuhan dan keinginan mereka.
Permasalahan yang terjadi di NTT merupakan suatu dampak dari kinerja para wakil rakyat yang seringkali mengingkari janji-janji manis saat kampanye. Masyarakat NTT, dalam mengikuti kegiatan pemberian suara menjadikannya sebagai sebuah formalitas saja. Bukan tentang bagaimana membangun daerahnya kedepan nanti. Kebanyakan berpendapat bahwa, siapa pun yang duduk menjadi wakil atau pemimpin mereka nanti, tidak dapat merubah kehidupan warganya. Artinya disini, masyarakat tidak memiliki keperayaan akan wakil mereka nantinya, sebab kehidupan masyarakat tidak memiliki perubahan yang signifikan. Kepercayaan akan datang ketika kehidupan rakyat dan program dari pemerintah berjalan seimbang. 
Money politik sepertinya sudah menjadi sebuah budaya yang akan sulit hilang di NTT, uang dipakai sebagai sarana untuk memobilisasi dukungan oleh kandidat. Berbicara soal uang, siapa pun tidak akan menolaknnya. Sehingga kekuatan para kandidat yang memiliki uang sangat memudahkan mereka untuk mencapai kursi kekuasaan dengan lebih mudah. Melihat yang terjadi di NTT, money politik adalah kenyataan yang terjadi. Masyarakat lebih memilih mendapatkan uang dan memberikan suara, tergantung siapa yang memberi lebih besar.
Permasalahan berikutnya adalah dalam hal kampanye oleh para kandidat, dalam melakukan kampanye, saya mengamati bagaimana para kandidat mencoba memobilisasi masa dengan memberikan uang juga. Hal ini tentu merupakan dampak yang negatif, karena uang menjadi faktor penentu dalam setiap kegiatan politik. Disini kita dapat melihat bagaimana kepercayaan masyakat dan dukungan yang nampak adalah sebuah proses manipulasi politik. Tentu sangat disayangkan hal ini dapat terjadi, kandidat yang seharus menjadikan diri contoh untuk masyarakat malah menjadi aktor utama dalam menyesatkan masyarakat.
Kampanye politik yang seharusnya digunakan oleh kandidat untuk menyampaikan visi-misi, serta menyampaikan ideologi partai pendukung malah digunakan oleh kandidat hanya untuk mempromosikan dirinya saja. Untuk mencari pemilih NTT yang memilih berdasarkan ideologi partai sangat jarang dan susah untuk ditemui, hal ini karena partai-partai yang ada tidak pernah mencoba untuk mendekatkan diri dengan masyarakat namun menjaga jarak. Sehingga kebanyakan masyarakat tidak mengetahui ideologi partai yang ada. Akibatnya pemilih yang mendasarkan pilihan terhadap ideologi partai sangat susah ditemui di NTT. Pilihan masyarakat cenderung berubah-ubah, dari satu partai ke partai lain tergantung pada siapa kandidatnya.
Dalam melihat masalah diatas, tentunya moral menjadi acuan utama. Suatu perilaku atau tindakan politik yang etis tentunya mengacu pada nilai-nilai moral tertentu. Artinya, dipercayai adanya basis moral yang semestinya menjadi dasar dari suatu tindakan atau perilaku politik tertentu.[4] Tindakan amoral yang terjadi saat ini dalam arena pertarungan politik, sepertinya menampakan apa yang pernah dikatakan machiavelli tentang politik tidak harus memperhatikan moral. Artinya disini dalam politik kita dapat menghalalkan segala cara untuk mencapai kekuasaan.
Hal ini bertentangan dengan perilaku masyarakat NTT, karena memiliki moral yang baik. Serta tingkat kepedulian sosial yang tinggi. Namun dalam kegiatan politik sepertinya moral disampingkan demi kekuasaan. Tentunya etika politik akan dipertanyakan dalam kaitannya dengan money politik yang sering dianggap wajar baik oleh kandidat maupun pemilih.
Haryatmoko dalam tulisannya menyatakan bahwa keadilan prosedural menjadi tulang punggung etika politik karena sebagai prosedur sekaligus mampu mengontrol dan menghindarkan semaksimal mungkin penyalahgunaan. Keadilan tidak diserahkan pada keutamaan politikus, tetapi pertama-tama dipercayakan kepada prosedur yang memungkinkan pembentukan sistem hukum yang baik.[5]
Dalam penyelenggaraan pemilu diharapkan dapat memberikan pelajaran yang baik bagi masyarakat sehingga dapat menciptakan pemilih yang rasional. Oleh karena aspek hukum dalam mendampingi setiap kegiatan pemilu dapat diterapkan dengan tegas dan transparan jika terdapat pelanggaran dalam pemilu. Sosialisasi politik diharapkan dapat merubah pola pikir dan cara pandang masyarakat, oleh karenanya sosialisasi politik harus terus dilaksanankan sebagai usaha untuk memberikan pendidikan politik.



Dari uraian diatas maka, karakter pemilih di NTT adalah sebagai berikut:
1)      Karakter pemilih, massa mengambang (floating mass). Karakter pemilih ini sangat mudah untuk beralih dari partai satu ke partai yang lain. Dari caleg yang satu ke caleg yang lain. Dari capres-cawapres yang satu ke capres-cawapres yang lain.
Keragu-raguan ini sebenarnya juga sangat beralasan, pemilih ini memiliki pengetahuan yang minim tentang partai maupun caleg yang diusung partai politik. Minimnya informasi ini juga disebabkan adanya stagnasi dalam pengembangan kompetensi dan jaringan bakal caleg di tiap partai politik. Hampir semua parpol mengusung caleg yang kapabilitas dan integritasnya relatif masih diragukan oleh pemilih. Hal ini dikarenakan banyak caleg di dalam pemilu kali ini dimunculkan oleh parpol tanpa diketahui oleh para pemilih soal sepak terjang para caleg tersebut selama ini, bisa jadi caleg tersebut memiliki hubungan tertentu dengan petinggi partai, sehingga mudah mendapatkan kesempatan menjadi caleg.
Jika caleg itu caleg incumbent, maka kinerjanya selama menjadi wakil rakyat di dprd dan dpr ri membuat masyarakat pemilih ragu-ragu memilihnya kembali. Hal ini dapat dipahami karena indikator keberhasilan seorang anggota legislatif tidak dipahami secara baik dan jelas oleh masyarakat dari sisi caleg-caleg yang akan tampil mewakili parpol nanti di legislatif, kondisinya juga tidak terlalu menjanjikan perubahan. rata-rata para caleg tersebut selama ini belum menunjukkan keberpihakannya kepada para konstituen. prinsip pro rakyat masih jauh dari harapan pemilih
2)      Karakter Pemilih, Follower Mass. Pemilih berkarakter seperti ini sebetulnya hanya tahu kabar yang samar dan kabur tentang suatu parpol dan caleg. Pemilih ini akan memberikan suaranya ketika ada pendapat/arahan dari tokoh yang dipercaya atau karena dijanjikan sesuatu oleh parpol maupun caleg. Jumlah karakter pemilih ini juga masih sangat banyak. Rata-rata adalah orang yang memiliki latar belakang yang kurang beruntung, sehingga bersikap apatis sekaligus pragmatis dalam Pemilu.
3)      Pemilih yang sangat mudah melupakan kesalahan caleg incumbent dan parpol yang telah mengkhianati para pemilih dengan cara melakukan tindakan tidak terpuji berupa korupsi, perselingkuhan dan aneka kesalahan yang lain. karakter pemilih seperti ini dapat dengan mudah dimanfaatkan para caleg dan parpol dengan membuat janji-janji baru yang mampu membuat masyarakat terlena.


 DAFTAR PUSTAKA
Jamaluddin, Telaah Karakter Pemilih dalam Pemilu, Media Bawean, 2013
Nurtjahjo Hendra, Filsafat Demokrasi, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2006
Surbakti Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Garsindo, Jakarta, 2010





Tidak ada komentar:

Posting Komentar