A.
LATAR BELAKANG
Demokrasi merupakan bentuk atau sistem pemerintahan yang segenap
rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakil-wakilnya atau
pemerintahan rakyat. Demokrasi juga dapat diartikan sebagai gagasan atau
pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan
yang sama bagi semua warga Negara.
Demokrasi diperayai sebagai gagasan universal yang
dapat diterima oleh ragam perspektif. Demokrasi telah menjadi obsesi sejumlah
masyarakat non-Barat semenjak awal abad ke-20. Banyak wilayah jajahan barat di
Asia dan Afrika mulai bergerak untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi di dalam
masyarakat. Dengan “senjata” demokrasi yang diperoleh melalui pendidikan Barat.
Para pemuka wilayah jajahan ingin mengembangkan nilai-nilai demokrasi yang akan
digunakan untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Di (zaman) Hindia
Belanda, gejala seperti ini dinamakan Kebangkitan Nasional.[1]
Inti dari demokrasi adalah “pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan
untuk rakyat”. Sistem pemerintahan yang demokratis seperti itulah yang tidak
akan terhapus dari muka bumi. Dengan perkataan lain itulah sistem yang terbaik
bagi masyarakat dimanapun mereka berada. Salah
satu tonggak utama untuk
mendukung sistem politik yang demokratis adalah melalui pemilu
Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat baik
di tingkat pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah, serta untuk membentuk
pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka
mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu dilaksanakan
oleh negara Indonesia dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat sekaligus
penerapan prinsip-prinsip atau nilai-nilai demokrasi, meningkatkan kesadaran
politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam pemilihan umum demi terwujudnya
cita-cita masyarakat Indonesia yang demokratis.
Dalam mewujudkan cita-cita demokrasi sebuah
bangsa, pemilihan umum secara langsung merupakan instrumen yang sangat memadai
dalam melalukan pemilihan umum. Karena rakyat diikutsertakan dalam memilih
wakil rakyat atau pemimpinnya, sehingga rakyat mempunyai kesempatan untuk
menentukan siapa yang akan duduk nantinya. Pemilihan umum langsung yang melibatkan
rakyat inilah yang nantinya diharapakan dapat menghasilkan seorang pemimpin
atau wakil rakyat di parlemen yang dapat mewujudkan aspirasi rakyat.
Memasuki era saat ini, dalam setiap kegiatan
pemilihan umum banyak diwarnai oleh kecurangan-kecurangan yang dimainkan para
elit untuk memperoleh jabatan. Ideologi partai yang dijunjung tinggi,
sepertinya tinggal menjadi tulisan-tulisan pemanis bibir para kandidat. Hal ini
tentu sangat disayangkan, karena pemimpin sebagai harapan masyarakat akan
adanya sebuah kesejahteraan menjadi sirna.
Melihat dari setiap pemilihan umum yang telah
berlangsung di Indonesia, impian untuk hidup sejahtera dari masyarakat masih
kabur, tanpa kejelasan. Masyarakat seolah dipermainkan dengan janji-janji manis
para kandidat yang berkompetisi untuk sebuah jabatan yang katanya menjadi wakil
rakyat. Ini tentu menjadi pelajaran kita bersama, bagaimana pilihan yang tepat
dari masyarakat agar menghasilkan pemimpin rakyat yang mau bekerja untuk
melayani rakyat setulus hati.
Sosialisasi politik adalah bagian dari upaya yang
dilakukan banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk menyadarkan pemilih
agar dalam menjatuhkan pilihan dapat mempertimbangkan aspek untung dan rugi
sebagai refleksi jiwa, demi tercapainya kesejahteraan. Dalam upaya kembali
menata karakter pemilih, tentunya diperlukan pendidikan politik yang dapat
menunjang partisipasi masyarakat. Partai politik mempunyai peran yang besar
dalam hal ini, karena dapat menyangkut citra partai pada saat pemilihan umum
nanti.
Ideologi partai merupakan sebuah tolak ukur yang
akan dipakai masyarakat dalam menjatuhkan pilihan. Sehingga seorang kandidat
harus menguasai ideologi partai yang menjadi cita-cita partai sekaligus
menggambarkan peran partai dalam kehidupan masyarakat. Dimasa sekarang yang
sering terjadi adalah seorang kandidat berusaha mempromosikan dirinya sebagai
seorang kandidat yang mampu untuk menjadi wakil atau pemimpin rakyat, namun
peran partai lewat ideologi partai tidak dipromosikan sebagai salah satu
kekuatan partai yang mencalonkannya.
Masyarakat akan melihat ideologi partai sebagai
sebuah tujuan partai, atau rumah kandidat. Oleh karenanya, ideologi partai
adalah bagian pertimbangan rasional yang dapat mendukung kandidat dalam
kompetisi pemilu.
B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimanakah
karakter pemilih di Provinsi Nusa Tenggara Timur?
BAB II
PERSPEKTIF TEORI
Dalam upaya memahami dan mengkaji karakter
pemilih, penulis mengangkat teori perilaku politik sebagai acuan dalam membedah
karakter pemilih yang cenderung berubah-ubah dalam setiap pemilihan umum di
Indonesia. Teori perilaku politik, dianggap relevan oleh penulis karena mempunya
hubungan erat dengan karakter pemilih dalam menjatukan pilihannnya.
Perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang
berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Yang
melakukan kegiatan adalah pemerintah dan masyarakat. Kegiatan yang dilakukan
pada dasrnya dibagi dua, yaitu fungsi-fungsi pemerintahan yang dipegang oleh
pemerintah dan fungsi-fungsi politik yang dipegang oleh masyarakat.[2]
Dalam menjalankan fungsi politik yang dipegang
masyarakat, pendekatan perilaku menjawab bahwa individulah yang melakukan
kegiatan politik secara aktual. Dimana masyarakat secara langsung dapat
mengikuti setiap kegiatan politik, dalam hal ini adalah pemilihan umum.
Perilaku adalah menyangkut sikap manusia yang akan
bertindak sesuatu. Oleh karena itu sangat masuk akal tampaknya apabila sikap
ditafsirkan dari bentuk perilaku. Dengan kata lain, untuk mengetahui sikap
seseorang terhadap sesuatu, kita dapat memperhatikan perilakunya, sebab
perilaku merupakan salah satu indikator sikap individu.
Menurut Jack Plano voting
behavior atau perilaku memilih adalah: “Salah satu bentuk perilaku politik yang
terbuka.” Sedangkan menurut Haryanto, Voting adalah: “Kegiatan warga negara
yang mempunyai hak untuk memilih dan di daftar sebagai seorang pemilih,
memberikan suaranya untuk memilih atau menentukan wakil-wakilnya”. Pemberian
suara kepada salah satu kontestan merupakan suatu kepercayaan untuk membawa
aspirasi pribadi, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Kepercayaan yang
diberikan, juga karena adanya kesesuaian nilai yang dimiliki arah tempat
memberikan suara. Nilai yang di maksud di sini adalah preferensi yang dimiliki
organisasi terhadap tujuan tertentu atau cara tertentu melaksanakan sesuatu.
Jadi kepercayaan pemberi suara akan ada, jika seseorang telah memahami makna
nilai yang dimiliki dalam rangka mencapai tujuan.
Perilaku memilih atau voting behavior dalam pemilu adalah respons
psikologis dan emosional yang diwujudkan dalam bentuk tindakan politik
mendukung suatu partai politik atau kandidat dengan cara mencoblos surat suara.
Keberadaan pemilu tidak bisa diabaikan begitu saja. Ia menjadi
prasyarat utama untuk menandai apakah demokrasi terjadi atau tidak dalam
tegaknya Negara berdasarkan kedaulatan rakyat. Pemilu dalam konteks ini menjadi
satu-satunya ruang untuk menunjukkan keberkuasaan rakyat atas elitenya. Melalui
proses pemilu itu, rakyat menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada elitenya.
Hal inilah yang membedakan antara demokrasi dan non-demokrasi, baik dalam
proses pemilihan maupun bentuk pertanggungjawaban kepada publik. Melalui
prosedur ini, rakyat bisa menuntut pertanggungjawaban atas kinerja sebuah
pemerintahan yang berujung pada apakah ia masih layak dipilih lagi atau tidak.
Karena itu, kalau kita mengambil sikap abstain (golput) dalam sebuah proses
pemilihan, meskipun ini juga bagian dari hak warga negara, berarti kita telah
mempersilahkan diri kita "disandera" selama lima tahun oleh pemimpin
yang sebenarnya tidak kita kehendaki. Namun demikian, juga bisa memahami jalan
berpikir beberapa kalangan yang memilih untuk "tidak memilih" karena
sering kali dihadapkan dan merasakan tipu daya dari para elite dalam setiap
penyelenggaraan pemilu.
Secara garis besar perilaku pemilih (political behaviour),
setidaknya dapat dikelompokkan dalam lima kategori, yaitu: Pertama, penentuan pilihan karena kasamaan ideologi dengan kandidat. Namun,
dalam kehidupan berbangsa sekarang dengan banyaknya politik aliran yang semakin
menjamur, ideologi agaknya tidak lagi menjadi faktor determinan, di samping
untuk mencari garis persamaan ideologis sekarang ini juga bukan hal mudah
karena arus pragmatisme politik yang demikian kuat.
Kedua, pilihan didasarkan pada afiliasi
partai politik. Kandidat yang didukung partai politik pilihannya, kepada dialah
pilihan dijatuhkan. Pemilih yang berperilaku seperti ini agaknya lebih banyak,
sehingga para kandidat berupaya sekuat tenaga untuk memperoleh dukungan partai
politik sebanyak mungkin.
Ketiga, pilihan karena kesamaan
etnisitas (gaps golongan). Banyak yang mengasumsikan, etnisitas akan turut
menentukan pilihan politik seseorang, meski etnisitas ikut menentukan, tapi
dalam Pemilu tidak terlalu signifikan menentukan perolehan suara.
Keempat, pilihan didasarkan pada
pragmatisme politik. Pragmatisme ini bisa muncul karena banyak hal, seperti
money politic, kedekatan dengan kandidat, hubungan keluarga, abdi dalam
pekerjaan dan sebagainya. Money politic dalam berbagai bentuk manifestasinya,
mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam membentuk pragmatisme politik. Money
politic sebagai bentuk pragmatisme politik tidak selalu dalam arti pemberian
sejumlah uang kepada pemilih, tapi bisa dalam bentuk-bentuk yang agak soft agar
tidak dikesankan "membeli" suara. Tidak disangsikan lagi bahwa
pemilih dalam Pemilu banyak yang menempuh cara ini untuk menentukan pilihan.
Kelima, pilihan karena program dan
integritas kandidat. Pemilih cerdas yang rasional biasanya melihat sisi ini.
Kita tahu bahwa tidak banyak pemilih yang menggunakan hal ini sebagai
pertimbangan utama untuk menentukan pilihan. Memang dimungkinkan, pilihan
ditentukan juga karena kombinasi dan perpaduan dari beberapa unsur di atas,
namun pemilih yang cerdas seharusnya didasarkan pada rekam jejak kandidat,
integritas, keahlian, dan program yang ditawarkan.[3]
Pesimisme masa depan dan janji kampanye yang sekadar isapan jempol
akhirnya mendorong pemilih menjadi pragmatis. Belum lagi adanya anggapan, siapa
pun yang berkuasa tidak akan mampu melakukan perubahan signifikan. Meski
demikian, ruang kecerdasan dan akal sehat tetap harus dipelihara dalam Pemilu.
BAB III
ANALISIS
Mengamati perkembangan karakteristik pemilih yang
ada saat ini, membuat penulis ingin menganalisis bagaimana karakteristik
pemilih yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Latar belakang budaya, etnis,
agama, dan kehidupan sosial yang berbeda-beda merupakan faktor-faktor yang
dapat membantu penulis untuk dapat menganalisis karakteristik pemilih yang ada
di NTT.
Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah sebuah provinsi
kepulauan yang berada di bagian timur Republik Indonesia. Keragaman budaya yang
ada di NTT merupakan sebuah ciri khas identitas masyarakat NTT. Melihat dari bidang pendidikan dan ekonomi
NTT masih sangat tertinggal. Saya tidak mempersalahkan masyarakat NTT, tapi
pemerataan pembangunan dalam seluruh aspek kehidupan masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karenanya banyak warga NTT yang masih kurang mendapatkan
kebutuhan pendidikan dan ekonomi yang semestinya.
Dalam setiap kegiatan pemilihan umum, masyarakat
NTT sangat aktif dalam memberikan suaranya. Terbukti lewat menurunnya angka
golput di NTT, namun yang menjadi permasalahnnya adalah dalam memberikan suara,
rakyat NTT sebagian besarnya bukanlah pemilih yang rasional. Primordialisme
masih sangat nampak dalam kegiatan pemberian suara yang dilakukan oleh
masyarakat NTT dan kecenderungan untuk memilih kandidat tidak melihat visi-misi
dari kandidat atau ideologi partai pendukung.
Cara pandang dan pemikiran yang masih tradisional
dari masyarakat NTT, seringkali dipraktekan dalam menjatuhkan pilihan.
Masyarakat beranggapan bahwa orang yang pantas menjadi wakil mereka adalah
orang yang dirasakan secara sosial dekat dengan masyarakat. Visi atau misi
kandidat bukan merupakan sebuah faktor penentu. Namun ikatan emosional kandidat
dengan masyarakat lebih penting, karena pemikiran masyarakat yang masih
tradisional mereka berpikir bahwa orang yang dekat dengan masyarakat adalah
orang yang paling mengerti tentang kebutuhan dan keinginan mereka.
Permasalahan yang terjadi di NTT merupakan suatu
dampak dari kinerja para wakil rakyat yang seringkali mengingkari janji-janji
manis saat kampanye. Masyarakat NTT, dalam mengikuti kegiatan pemberian suara
menjadikannya sebagai sebuah formalitas saja. Bukan tentang bagaimana membangun
daerahnya kedepan nanti. Kebanyakan berpendapat bahwa, siapa pun yang duduk
menjadi wakil atau pemimpin mereka nanti, tidak dapat merubah kehidupan
warganya. Artinya disini, masyarakat tidak memiliki keperayaan akan wakil
mereka nantinya, sebab kehidupan masyarakat tidak memiliki perubahan yang
signifikan. Kepercayaan akan datang ketika kehidupan rakyat dan program dari
pemerintah berjalan seimbang.
Money politik sepertinya sudah menjadi sebuah
budaya yang akan sulit hilang di NTT, uang dipakai sebagai sarana untuk
memobilisasi dukungan oleh kandidat. Berbicara soal uang, siapa pun tidak akan
menolaknnya. Sehingga kekuatan para kandidat yang memiliki uang sangat
memudahkan mereka untuk mencapai kursi kekuasaan dengan lebih mudah. Melihat
yang terjadi di NTT, money politik adalah kenyataan yang terjadi. Masyarakat
lebih memilih mendapatkan uang dan memberikan suara, tergantung siapa yang
memberi lebih besar.
Permasalahan berikutnya adalah dalam hal kampanye
oleh para kandidat, dalam melakukan kampanye, saya mengamati bagaimana para
kandidat mencoba memobilisasi masa dengan memberikan uang juga. Hal ini tentu
merupakan dampak yang negatif, karena uang menjadi faktor penentu dalam setiap
kegiatan politik. Disini kita dapat melihat bagaimana kepercayaan masyakat dan
dukungan yang nampak adalah sebuah proses manipulasi politik. Tentu sangat
disayangkan hal ini dapat terjadi, kandidat yang seharus menjadikan diri contoh
untuk masyarakat malah menjadi aktor utama dalam menyesatkan masyarakat.
Kampanye politik yang seharusnya digunakan oleh
kandidat untuk menyampaikan visi-misi, serta menyampaikan ideologi partai
pendukung malah digunakan oleh kandidat hanya untuk mempromosikan dirinya saja.
Untuk mencari pemilih NTT yang memilih berdasarkan ideologi partai sangat
jarang dan susah untuk ditemui, hal ini karena partai-partai yang ada tidak
pernah mencoba untuk mendekatkan diri dengan masyarakat namun menjaga jarak.
Sehingga kebanyakan masyarakat tidak mengetahui ideologi partai yang ada.
Akibatnya pemilih yang mendasarkan pilihan terhadap ideologi partai sangat
susah ditemui di NTT. Pilihan masyarakat cenderung berubah-ubah, dari satu
partai ke partai lain tergantung pada siapa kandidatnya.
Dalam melihat masalah diatas, tentunya moral
menjadi acuan utama. Suatu perilaku atau tindakan politik yang etis tentunya
mengacu pada nilai-nilai moral tertentu. Artinya, dipercayai adanya basis moral
yang semestinya menjadi dasar dari suatu tindakan atau perilaku politik
tertentu.[4]
Tindakan amoral yang terjadi saat ini dalam arena pertarungan politik,
sepertinya menampakan apa yang pernah dikatakan machiavelli tentang politik
tidak harus memperhatikan moral. Artinya disini dalam politik kita dapat
menghalalkan segala cara untuk mencapai kekuasaan.
Hal ini bertentangan dengan perilaku masyarakat
NTT, karena memiliki moral yang baik. Serta tingkat kepedulian sosial yang
tinggi. Namun dalam kegiatan politik sepertinya moral disampingkan demi
kekuasaan. Tentunya etika politik akan dipertanyakan dalam kaitannya dengan
money politik yang sering dianggap wajar baik oleh kandidat maupun pemilih.
Haryatmoko dalam tulisannya menyatakan bahwa
keadilan prosedural menjadi tulang punggung etika politik karena sebagai
prosedur sekaligus mampu mengontrol dan menghindarkan semaksimal mungkin
penyalahgunaan. Keadilan tidak diserahkan pada keutamaan politikus, tetapi
pertama-tama dipercayakan kepada prosedur yang memungkinkan pembentukan sistem
hukum yang baik.[5]
Dalam penyelenggaraan pemilu diharapkan dapat
memberikan pelajaran yang baik bagi masyarakat sehingga dapat menciptakan
pemilih yang rasional. Oleh karena aspek hukum dalam mendampingi setiap
kegiatan pemilu dapat diterapkan dengan tegas dan transparan jika terdapat
pelanggaran dalam pemilu. Sosialisasi politik diharapkan dapat merubah pola
pikir dan cara pandang masyarakat, oleh karenanya sosialisasi politik harus
terus dilaksanankan sebagai usaha untuk memberikan pendidikan politik.
Dari uraian
diatas maka, karakter pemilih di NTT adalah sebagai berikut:
1)
Karakter
pemilih, massa mengambang (floating mass). Karakter
pemilih ini sangat mudah untuk beralih dari partai satu ke partai yang lain.
Dari caleg yang satu ke caleg yang lain. Dari capres-cawapres yang satu ke
capres-cawapres yang lain.
Keragu-raguan ini sebenarnya juga sangat beralasan, pemilih ini memiliki
pengetahuan yang minim tentang partai maupun caleg yang diusung partai politik.
Minimnya informasi ini juga disebabkan adanya stagnasi dalam pengembangan
kompetensi dan jaringan bakal caleg di tiap partai politik. Hampir semua parpol
mengusung caleg yang kapabilitas dan integritasnya relatif masih diragukan oleh
pemilih. Hal ini dikarenakan banyak caleg di dalam pemilu kali ini dimunculkan
oleh parpol tanpa diketahui oleh para pemilih soal sepak terjang para caleg
tersebut selama ini, bisa jadi caleg tersebut memiliki hubungan tertentu dengan petinggi
partai, sehingga mudah mendapatkan kesempatan menjadi caleg.
Jika caleg itu caleg incumbent, maka kinerjanya selama menjadi wakil
rakyat di dprd dan dpr ri membuat masyarakat pemilih ragu-ragu memilihnya
kembali. Hal ini dapat dipahami karena indikator keberhasilan seorang anggota
legislatif tidak dipahami secara baik dan jelas oleh masyarakat dari sisi
caleg-caleg yang akan tampil mewakili parpol nanti di legislatif, kondisinya
juga tidak terlalu menjanjikan perubahan. rata-rata para caleg tersebut selama
ini belum menunjukkan keberpihakannya kepada para konstituen. prinsip pro
rakyat masih jauh dari harapan pemilih
2)
Karakter Pemilih, Follower Mass. Pemilih
berkarakter seperti ini sebetulnya hanya tahu kabar yang samar dan kabur
tentang suatu parpol dan caleg. Pemilih ini akan memberikan suaranya ketika ada
pendapat/arahan dari tokoh yang dipercaya atau karena dijanjikan sesuatu oleh parpol
maupun caleg. Jumlah karakter pemilih ini juga masih sangat banyak. Rata-rata
adalah orang yang memiliki latar belakang yang kurang beruntung, sehingga
bersikap apatis sekaligus pragmatis dalam Pemilu.
3)
Pemilih yang sangat mudah
melupakan kesalahan caleg incumbent dan parpol yang telah mengkhianati para
pemilih dengan cara melakukan tindakan tidak terpuji berupa korupsi,
perselingkuhan dan aneka kesalahan yang lain. karakter pemilih seperti ini
dapat dengan mudah dimanfaatkan para caleg dan parpol dengan membuat
janji-janji baru yang mampu membuat
masyarakat terlena.
DAFTAR PUSTAKA
Jamaluddin, Telaah Karakter Pemilih dalam Pemilu,
Media Bawean, 2013
Nurtjahjo
Hendra, Filsafat
Demokrasi, Sinar Grafika Offset, Jakarta,
2006
Surbakti
Ramlan, Memahami Ilmu
Politik, Garsindo, Jakarta, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar